Jumat, 22 Agustus 2008

Konflik Nelayan dan FKPPS

Beberapa tahuan terakhir, konflik antar nelayan semakin marak terjadi di berbagai wilayahperairan di tanah air. Sejumlah alasan dilontarkan oleh para pakar dan praktisi sebagai ”biang kerok” terjadinya konflik antar nelayan di Indonesia, seperti perebutan fishing ground (daerah penangkapan ikan), dampak penerapan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, perbedaan teknologi penangkapan, kesenjangan sosial dan banyak lagi alasan yang lain.

Namun demikian, setiap konflik nelayan yang terjadi mempunyai kekhasan tersendiri dan melibatkan banyak pihak yang memiliki kepentingan dan motivasi yang berbeda-beda pula. Tidak semua konflik yang terjadi disebabkan oleh perbedaan teknologi penangkapan dan atau perebutan daerah penangkapan ikan yang potensial, dan atau factor lainnya. Bahwa konflik nelayan yang terjadi penyebabnya beragam, bisa saja faktor yang menyebabkannya berdiri sendiri, atau dapat pula merupakan kolaborasi antara beberapa faktor.

Sekedar mereview kembali ke tahun 70an, di berbagai daerah di sekitar pantai utara Jawa, muncul konflik antara nelayan yang menggunakan trawl (pukat harimau) dengan nelayan tradisional yang menggunkan peralatan tangkap sederhana seperti rawai. Untuk menghindari konflik nelayan yang lebih besar, melindungi daerah penangkapan nelayan kecil dan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan (meski belum semua peneliti sepakat bahwa trawl merusak kelestraian sumberdaya ikan), pemerintah menerbitkan kepres no. 39 tahun 1980 tentang pelarangan pengoperasian trawl di seluruh wilayah Indonesia. Dalam kasus ini banyak faktor yang menyebabkan konflik terjadi, namun penyebab utamanya adalah perbedaan alat tangkap, sehingga pelarangan salah satu alat tangkap dapat ”menyelesaikan” konflik yang terjadi.

Begitu pula halnya dengan konflik antar nelayan di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Bottom gill net (jaring batu) yang digunakan oleh nelayan Teluk Pambang ditolak pengoperasiannya oleh nelayan lain yang menggunakan rawai, kedua alat tangkap ini dioperasikan di lokasi yang sama dengan target utama penangkapan yang sama pula yakni ikan kurau (harga ikan ini dapat mencapai Rp. 300.000,00/ekor). Menurut nelayan Teluk Pambang, sejak jaring batu beroperasi, hasil tangkapan nelayan rawai semakin menurun setiap tahunnya, mereka menduga bahwa penyebab menurunannya hasil tangkapan mereka akibat beroperasinya nelayan jaring batu (meski belum dibuktikan melalui suatu kajian ilmiah). Konflik yang sudah terjadi sejak 23 tahun yang lalu ini akhirnya dapat ”diselesaikan” secara damai dengan diterbitkannya Surat Kepuusan Gubernur Riau No. 17 tahun 2006 tentang pelarangan pengoperasian jaring batu di perairan bengkalis hingga jarak 12 mil laut.

Contoh konflik lainnya terjadi antara nelayan purse seine Jawa Tengah dengan nelayan lokal Kotabaru Kalimantan Selatan dan Balikpapan Kalimantan Timur. Nelayan yang berasal dari Propinsi Jawa Tengah (Pati, Pekalongan) dilarang melakukan kegiatan penangkapan ikan di Selat Makassar oleh nelayan Kotabaru Kalimantan Selatan dan Balikpapan Kalimantan Timur. Konflik yang telah berubah menjadi kekerasan fisik tersebut ditenggarai disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ketimpangan teknologi penangkapan ikan, pelanggaran jalur penangkapan ikan serta perebutan daerah penangkapan.

Disamping kedua contoh konflik antar nelayan tersebut diatas, masih banyak konflik nelayan yang terjadi diberbagai perairan di Indonesia. Konflik nelayan tersebut dapat terjadi antar nelayan dalam satu kabupaten/kota, antar kabupaten/kota, antar propinsi atau bahkan antar negara.

Oleh karenanya, pemerintah dan atau pihak terkait lainnya perlu menyusun suatu langkah-langkah terencana dalam menagani konflik tersebut. Perlu diketahui bahwa tiap konflik mempunyai kekhasan masing-masing, oleh karenanya perlu dilakukan pemetaan konflik terlebih dahulu. Pemetaan konflik bertujuan mengidentifikasi siapa saja yang terlibat, bentuk keterlibatannya, motivasi dan waktu keterlibatan masing-masing pihak. Kegiatan ini dilakukan untuk lebih memahami konflik dengan baik dan melihat hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik secara lebih jelas sehingga metode pendekatan dan langkah-langkah penanganan konflik yang akan diterapkan dapat segera menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Peran FKPPS

Sejak tahun 1999, melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan, pemerintah telah membentuk sebuah wadah bagi seluruh pemangku kepentingan bidang kelautan dan perikanan berupa suatu forum koordinasi pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan yang kemudian disingkat FKPPS. Secara umum, pembentukan forum ini dimaksudkan untuk membahas hasil inventarisasi/masukan data dan informasi pemanfaatan sumberdaya ikan serta permasalahan/kasus yang timbul dalam pemanfaatan sumberdaya ikan laut, memberi pertimbangan pendapat maupun saran pemecahan dalam upaya menyelesaikan permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang terjadi dalam masyarakat dan untuk memberi masukan dalam upaya menetapkan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya ikan laut khususnya lintas wilayah pengelolaan.

Penanganan konflik antar nelayan tentunya merupakan salah satu tujuan dibentuknya forum ini. Oleh karenanya, pemerintah tidak perlu membentuk wadah atau lembaga yang baru, namun cukup dengan memaksimalkan fungsi dan peran FKPPS, baik ditingkat pusat dan daerah. Revitalisasi FKPPS begitu penting dilakukan saat ini, baik struktur keanggotaannya, mekanisme kerja dan pendanaannya, sehingga tujuan awal pembentukan lembaga ini dapat terwujud.

Dalam konteks penanganan konflik nelayan, adalah tidak adil menyerahkan semua penanganannya hanya kepada satu instansi dan atau satu daerah otonom saja, akan tetapi sebaliknya memerlukan keterlibatan berbagai pihak terkait, seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, TNI-AL, POLAIR, Ditjen. Perhubungan Laut (Depertemen Perhubungan), depdagri, perguruan tinggi dan HNSI. Dengan kata lain, diperlukan suatu kelembagaan yang kuat dalam menangani konflik, dimana anggotanya berasal dari berbagai instansi terkait serta mempunyai kewenangan penuh dalam menentukan langkah-langkah yang terbaik dalam mengelola konflik yang terjadi.

Begitu pula halnya dengan mekanisme kerjanya, adalah tidak bijak bila pertemuan antar anggota hanya dilakukan pada waktu tertentu yang telah lebih dulu dijadwalkan satu atau dua tahun sebelumnya. Dengan sistem kerja seperti ini, terkadang begitu banyak permasalahan dalam pengelolaan perikanan yang timbul dan membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat tidak dapat segera ditangani sehingga permasalahan tersebut berkembang menjadi lebih kompleks atau malahan menimbulkan masalah baru yang tak kalah rumitnya. Akan lebih baik bila forum ini melakukan pertemuan setiap kali timbul permasalahan dilapangan, disamping dapat memudahkan semua pihak untuk saling berkoordinasi, juga dapat lebih mempercepat penanganan konflik tersebut sehingga dampak negatif konflik yang timbul dapat dieliminasi.

Untuk pendanaan, tiap instansi terkait seyogyanya mempunyai komitmen bersama untuk menyiapkan anggaran untuk mendanai segala kegiatan lembaga ini, baik survey lapang, analisis data, pendampingan bila dibutuhkan, fasilitasi pertemuan para pihak yang berkonflik hingga sosialisasi hasil kesepakatan. Dana yang dibutuhkan untuk operasional lembaga tidaklah berarti dibanding dengan terciptanya rasa aman dan nyaman serta kesejahteraan yang akan dinikmati oleh para nelayan.

FKPPS hasil revitalisasi nantinya diharapkan dapat mengambil peran yang lebih besar, sehingga anggapan beberapa pihak yang menganggap forum ini hanya merupakan kegiatan seremonial belaka atau malah dianggap sebagai ajang silaturrahim bagi para pengambil kebijakan dibidang perikanan dan kelautan tidak lagi terdengar, tapi justru sebaliknya. Sudah sepatutnya stakeholders berharap banyak, bahwa pada pertemuan FKPPS nasional yang akan dilaksanakan setiap tahun di tingkat propinsi dan wilayah dan 2 (dua) tahun sekali ditingkat nasional. Penyelenggaraan FKPPS nasional akhir tahun ini di Manado Propinsi Sulawesi Utara dijadikan momentum bagi semua pihak untuk segera melakukan langkah-langkah terbaik bagi pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan Indonesia, khususnya dalam penangani konflik antar nelayan****car

Tidak ada komentar: