Selasa, 27 Januari 2009

IKAN TERBANG, AKAN TERUS TERBANG

Ikan terbang (Exocoetidae) adalah ikan pelagis kecil dengan ciri unik yaitu dapat terbang di permukaan air. Ikan ini diketahui mempunyai 53 spesies dan didapatkan dihampir semua perairan subtropik dan sub tropik (Parin, 1999), sedangkan di perairan nusantara, ikan terbang dijumpai sebanyak 18 spesies. Ikan ini merupakan komoditi komersial penting di beberapa wilayah tententu di tanah air, seperti Sulawesi Selatan, Maluku, dan Sulawesi Utara. Karena sifatnya yang menghindari perairan yang keruh dan berlumpur, maka ikan terbang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh keadaan lingkungan perairan.

Di Sulawesi Selatan, sekitar tahun 1981 ikan terbang pernah menyumbangkan devisa negara terbesar kedua setelah udang, namun pada tahun-tahun terakhir ini kontribusinya sudah sangat menurun. Produksi ikan terbang antara 1985-2002 di Sulawesi Selatan mengalami penurunan rata-rata 155 ton setiap tahun, sedangkan produksi telur ikan terbang menurun rata-rata sekitar 5 ton setiap tahun. Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh karena terjadi penangkapan berlebihan karena belum adanya langkah-langkah pengelolaan secara tepat.

Ikan terbang (Exocoetidae) adalah ikan pelagis kecil dengan ciri unik yaitu dapat terbang di permukaan air. Ikan ini diketahui mempunyai 53 spesies dan didapatkan dihampir semua perairan subtropik dan sub tropik (Parin, 1999), sedangkan di perairan nusantara, ikan terbang dijumpai sebanyak 18 spesies. Ikan ini merupakan komoditi komersial penting di beberapa wilayah tententu di tanah air, seperti Sulawesi Selatan, Maluku, dan Sulawesi Utara. Karena sifatnya yang menghindari perairan yang keruh dan berlumpur, maka ikan terbang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh keadaan lingkungan perairan.

Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan terbang ada dua macam, yaitu perahu Bago dan Sande. Umumnya ukuran perahu Bago yang digunakan berukuran panjang 4-6 m, lebar 3-7 m, tinggi 1-2 m dan lunasnya berbentuk V, sedangkan perahu Sande berukuran panjang 3-7 m, lebar 0,7-1,5 m, tinggi 1,5-2,0 m dengan lunas bentuk V. Sedangkan alat tangkap yang digunakan adalah jaring insang, alat ini merupakan alat tangkap yang paling efektif untuk menangkap ikan terbang. Alat ini dipakai secara luas di Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah sampai ke Maluku Tenggara. Untuk penangkapan telur ikan terbang, nelayan Sulawesi Selatan menggunakan alat tangkap bubu hanyut yang diberi daun kelapa untuk menarik ikan meletakkan telurnya (pakajja). Selain itu, nelayan juga menggunakan pula bale-bale yang juga diperuntukan untuk mengumpulkan telur. Kontruksi bale-bale lebih sederhana, yaitu berbentuk persegi empat, terbuat dari bambu dan bagian atasnya diletakkan daun kelapa. Nelayan di Maluku Tenggara menyediakan tempat bertelur ikan terbang berupa daun-daunan yang diapungkan dipermukaan air.

Upaya penangkapan berlebihan merupakan salah satu faktor yang dapat mengancam sumberdaya ikan terbang seperti pertambahan jumlah unit jaring yang dipakai menangkap induk ikan maupun melalui peningkatan kapasitas jaring dengan menambah panjang jaring diatas 1000 m. Selain itu, kemungkinan peningkatan jumlah unit rumpon (bale-bale) untuk mengoleksi telur menjadi salah satu faktor pembatas kapasitas regenerasi ikan. Selama 18 tahun terakhir (1985-2002) terjadi pertambahan upaya unit jaring (Ali et al, 2004a). Apabila penambahan upaya terus berlanjut tanpa terkendali secara biologis berbahaya terhadap kelestarian populasi ikan terbang dan secara ekonomi tidak menguntungkan.

Perkembangan alat tangkap bale-bale (rumpon) secara tak terkendali yang telah mengantikan pakkaja (bubu hanyut) sebagai alat pengumpul telur, merupakan salah satu faktor ancaman bagi populasi ikan terbang. Rumpon (bale-bale) dengan jumlah daun kelapa lebih banyak mempunyai kapasitas untuk menarik ikan terbang lebih besar untuk memijah dibanding bubu hanyut sehingga bale-bale memiliki kapasitas untuk mengoleksi telur lebih dahsyat dan dinilai kurang ramah lingkungan. Selain itu, apabila dihubungkan dengan sifat ikan terbang yang berumur pendek hanya lebih 1 tahun (tidak lebih 2 tahun) (Campana et al. 1993) dan mengalami kematian pasca pemijahan (post spawning mortality) (Khokkiattiwong, et al. 2000) maka ikan terbang yang telah memijah pada tahun pertama tidak akan kembali memijah pada tahun berikutnya. Sehingga anggapan bahwa alat rumpon (bale-bale) ramah lingkungan karena tidak menangkap induk ikan sehingga diharapkan akan kembali memijah pada tahun berikutnya bertolak belakang dengan karakter biologi reproduksi ikan terbang. Jika tidak dikendalikan dengan baik, penggunaan rumpon secara berlebihan untuk mengoleksi telur merupakan salah satu faktor utama terjadinya pemutusan siklus hidup yang mengancam populasi ikan terbang.

Salah satu faktor yang mengancam populasi dan menjadi kendala dalam pengelolaan ikan terbang adalah prilaku dan kebiasaan nelayan melakukan penangkapan saat musim pemijahan. Pada musim tersebut (Maret-­September), ikan terkonsenterasi pada wilayah tertentu, dan tertarik pada benda-benda terapung sebagai tempat memijah. Tingkah laku reproduksi ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk mengoleksi telur dengan membuat bale-bale dari daun kelapa untuk menarik ikan meletakkan telumya.

Faktor lain yang mengancam populasi ikan terbang adalah tertangkapnya ikan-ikan fase reproduktif dengan jaring pada musim pemijahan sekitar 85 % yang belum beregenerasi (Ali, 2005), serta penangkapan telur-telur ikan secara tak terkendali dengan rumpon menyebabkan terputusnya siklus hidup individu dalam jumlah yang besar, sehingga dapat mengurangi rekrutmen dan populasi ikan akan menurun.

Meski belum ada data tentang jumlah nelayan yang melakukan usaha penangkapan ikan terbang dan atau telur ikan terbang, berdasarkan informasi masyarakat, jumlah nelayan pengumpul telur ikan terbang berkurang setiap tahunnya. Sekitar tahun 1970 hampir seluruh kabupaten di pesisir Laut Flores dan Selat Makassar adalah basis penangkapan ikan terbang, namun sekarang ini sebagian besar basis penangkapan ikan terbang di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sudah tidak ada, yang tersisa hanya di Takalar, Barru, Pare-Pare, Majene dan Polmas dengan jumlah nelayan sangat terbatas. Ujung Lero Kabupaten Pinrang pernah menjadi pusat pengasapan dan pengeringan ikan terbang terbesar namun sekarang ini sudah tidak dijumpai lagi. Satu tempat pengeringan ikan yang masih bertahan ada di Kabupaten Barru.

Berdasarkan informasi awal tersebut, diketahui bahwa ada kecenderungan menurunnya hasil tangkapan perikanan dan produksi telur ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores dalam 30 tahun terakhir karena berbagai faktor penyebab. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan memerlukan komitmen dan kerjasama semua pihak untuk mengelolah perikanan ikan terbang secara bijaksana, sehingga usaha perikanan ini dapat tetap bertahan dan berkembang bagi kepentingan masyarakat, khususnya nelayan. Salah satu solusi yang perlu dilakukan yaitu dengan membuat Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP).

Bertempat di Bogor, tanggal 25 – 26 Agustus 2008, Direktorat Sumberdaya Ikan Ditjen Perikanan Tangkap bekerjasama dengan P2O LIPI mengadakan wokshop penyusunan naskah akademik sebagai bahan dalam penyempurnaan RPP ikan terbang, khususnya di Selat Makassar dan Laut Flores.

Workshop ini merupakan tindaklanjut dari Lokakarya Nasional Perikanan Ikan Terbang yang dilaksanakan di Makassar tahun 2005 dan workshop penyusunan draft RPP ikan terbang tahun 2006. Diharapkan agar Rencana Pengelolaan Perikanan ikan terbang tersebut dapat dijadikan pedoman dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan, khususnya ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores. Dan pada akhirnya kegiatan pemanfaatan ikan terbang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk nelayan disisi lain, dan kelestarian sumberdaya ikan ini tetap terjaga, sampai nanti. Dan bila nanti ikan terbang akan terus terbang, mengangkasa, mengiringi iringan kapal nelayan membelah lautan Indonesia, niscaya itu tidak terlepas dari upaya pengelolaan yang kita rencanakan saat ini…..

Tidak ada komentar: