Rabu, 28 Januari 2009

Nelayan dan Pukat Hela

Sejak diterbitkannya, peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 06 tahun 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara belum juga dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Padahal peraturan yang dirancang untuk menjadi pintu solusi pengelolaan perikanan yang lebih baik di kawasan tersebut mempunyai batas waktu dalam implementasinya.

Meski banyak pihak memandang peraturan tersebut sebagai langkah mundur pemerintah dalam mensejahterakan nelayan kecil dan upaya melegalkan penggunaan alat tangkap yang berpotensi merusak sumberdaya ikan dan lingkungan perairan Indonesia, pro nelayan besar/pengusaha bahkan memicu timbulnya konflik antar nelayan. Namun pemerintah berkeyakinan bahwa peraturan tersebut merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dalam menyelesaikan berbagai isu dan permasalahan yang ada di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara seperti semakin, kesenjangan teknologi antar nelayan lokal maupun nelayan lokal dengan nelayan Malaysia, illegal trading, IUU fishing, penegakan hukum, ketimpangan pembangunan di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia. Semestinya semua pihak memahami hal tersebut,dan bersama-sama mengawasi pelaksanaannya di lapangan.

Mengapa Permen KP No. 06 tahun 2008 diperlukan
Pada dasarnya, penerbitan peraturan tersebut dimaksudkan sebagai upaya mengoptimalisasikan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan khususnya demersal dan udang secara lestari. Kegiatan optimalisasi ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan memperkuat posisi tawar nelayan di perairan perbatasan Kalimantan Timur bagian utara dengan negara tetangga.

Perlu diketahui bahwa lebih dari 50% nelayan diperairan ini menggunakan alat tangkap pukat hela, artinya nelayan tersebut selama ini melakukan penangkapan secara illegal karena tidak terdaftar dan memiliki ijin resmi dari instansi yang berwenang. AKibatnya, nelayan tidak memiliki rasa aman dan nyaman dalam kegiatan menangkap ikan. Dan yang lebih memprihatinkan, nelayan tersebut menggunakan kapal motor yang berukuran kecil atau sekitar 1- 10 GT.

Akibat kapal yang tidak terdata dan berijin tersebut, sebagian besar produksi perikanan tangkap tidak didaratkan di tempat pendaratan ikan sebagaimana mestinya, namun sebaliknya, hasil tangkapan mereka langsung dijual ke negara tetangga dan tidak tercatat sebagai hasil produksi perikanan Indonesia. Kondisi ini menimbulkan ketidakharmonisan hubungan antara Indonesia dan negara tetangga.

Kondisi tersebut banyak terjadi di perairan lain di Indonesia, namun karena kompleksitas isu dan permasalahan di perairan Kalimantan timur bagian utara dan desakan dari berbagai pihak seperti dari tokoh nelayan dan masyarakat, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia propinsi dan kabupaten/kota terkait serta pejabat daerah setempat, penataan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan perairan ini menjadi prioritas.

Perlu diketahu pula bahwa penyusunan peraturan menteri mengenai pelegalan pukat hela di perairan Kalimantan Timur bagian Utara telah melalui berbagai tahapan dari mulai permintaan dari masyarakat nelayan Kalimantan Timur, pertemuan dengan anggota dewan perwakilan rakyat pusat dan daerah, survei lapangan, kooordinasi dengan stakeholder, hingga konsultasi publik penyusunan draft Permen, baik yang dilakukan di tingkat propinsi, kab/kota maupun di Jakarta dengan melibatkan HNSI, Dinas Perikanan dan Kelautan serta Anggota DPRD Kalimantan Timur.

Pemutihan Pukat Hela.
Pukat hela digunakan nelayan di perairan ini sejak tahun 70an, meski Kepres tahun 39 tahun 1980 tentang pelarangan pengoprasian trawl diterbitkan pemerintah, pukat hela tetap menjadi alat tangkap utama didaerah ini. Mengapa demikian? Perlu diketahui bahwa karakteristik dan/atau kondisi geografis wilayah Kalimantan Timur bagian Utara berpasir dan sedikit bercampur lumpur, kondisi seperti itu sangat sesuai dengan habitat udang. Untuk memanfaatkan sumberdaya udang yang ada didaerah tersebut, alat tangkap yang paling efektif dan efisien adalah pukat hela. Tidak heran bila akhirnya nelayan tetap mempertahankan alat tangkap ini meski secara illegal/tidak sah.

Untuk menyelamatkan keberlangsungan usaha nelayan setempat, pemerintah memberikan kesempatan kepada nelayan untuk mendaftarkan alat tangkap yang selama ini mereka gunakan sampai waktu yang ditentukan. Kesempatan ini hanya diberikan kepada nelayan yang telah menggunakan alat tangkap tersebut sebelumnya dan berdomisili didaerah tersebut, sedangkan tidak ada peluang untuk alat tangkap baru dan atau nelayan yang berasal dari luar wilayah. Dengan kata lain, alat tangkap tersebut hanya diberikan kesempatan berusaha sampai waktu tertentu sebelum pemerintah melakukan pengkajian melalui monitoring dan evaluasi sumberdaya ikan dan lingkungan serta aspek sosekbud sebelum menentukan langkah pengelolaan lebih lanjut.

Dengan kebijakan ini tentunya nelayan memiliki kepastian hukum dalam berusaha dan mempunyai hak-hak berusaha seperti layaknya warga negara yang lain. Dan sebaliknya, bila kebijakan ini tidak berjalan, sebagian besar nelayan tidak nyaman melaut, negara akan kehilangan data produksi, jumlah kapal dan armada, posisi tawar nelayan yang semakin lemah, serta berpotensi menyebabkan kesalahan dalam menyusun program dan rencana pengelolaan perikanan di daerak tersebut.

Tidak ada komentar: