Selasa, 27 Januari 2009

Laut Arafura: The Last Fishing Ground?

Banyak dari kita meyakini bahwa sumberdaya ikan yang telah dihamparkan oleh Tuhan YME di bumi Indonesia sangatlah melimpah dan bila dikelolah secara arif dan bijaksana, sumberdaya ikan tersebut pantas dijadikan sandaran hidup nelayan Indonesia saat ini. Dan mungkinkah sumberdaya tersebut masih bisa juga menjadi sandaran hidup dan dinikmati oleh generasi yang akan datang? Ataukah cerita melimpahnya ikan di bumi pertiwi hanya dapat diketahui dari buku sejarah masa lalu. Wallahu Alam

Meski tidak ada catatan mengenai potensi sumberdaya ikan yang terkandung di perairan indonesia, tahun 1940-an diperkirakan sumberdaya ikan di perairan Indonesia sangat melimpah. Bahkan seniman negeri mengabadikannya dalam sebuah bait lagu “Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu” kutipan lagu tersebut cukup memberi gambaran kepada kita betapa bangsa ini memiliki kekayaan sumberdaya ikan yang sangat melimpah.

Afdeeling Visserij (bagian perikanan) yang dibentuk oleh pemerinta Hindia Belanda tanggal 1 Januari 1914 menegaskan bahwa secara umum atau sekitar 95 % kegiatan penangkapan ikan saat itu hanya ditujukan untuk kebutuhan rumah tangga. Selain karena kegiatan industri perdagangan perikanan belum berjalan, kemampuan masyarakat dalam penguasaan teknologi dan armada penangkapan masih sangat kurang. Nelayan umumnya menggunakan sampan untuk menangkap ikan, sehingga wilayah penangkapan hanya terbatas pada daerah sekitar pantai.

Pemanfaatan secara terbatas ternyata tidak berlaku diseluruh perairan Indonesia, tahun 1930 hingga 1970, Bagan Siapi-api, sebuah sentra penangkapan ikan di selat malaka, dikenal sebagai suatu kawasan perikanan terbesar di asia bahkan dunia. Data statistik perikanan yang dikeluarkan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1930 mencatat bahwa produksi ikan di pelabuhan Bagan Siapi-api mencapai rata-rata 300.000 ton/tahun. Produksi itu telah menempatkan pelabuhan ini sebagai daerah penghasil ikan terbesar di asia bahkan kedua di dunia setelah Norwegia.

Dan sejarah mencatat pula bahwa awal tahun 70an, produksi ikan di Bagan Siapi-api berangsur-angsur turun dan tidak pernah bangkit lagi seperti sebelumnya. Kesibukan di pelabuhan bagan siapi-api tidak lagi terlihat, aktivitas perdagangan ikan hilang bak di telan bumi dan aroma “sedap” ikan yang menyebar di seluruh bagan tak lagi tercium. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat terhadap sumberdaya ikan, orientasi penangkapan ikan tidak lagi berbasis skala rumah tangga tapi mulai berkembang menjadi skala industri. Di wilayah perairan Indonesia, khususnya bagian barat Indonesia, sekitar tahun 1950, aktivitas penangkapan ikan mulai dilakukan dengan menggunakan alat tangkap payang penangkapan ikan pelagis, kemudian jaring trawl untuk menangkap udang dan ikan demersal serta longline untuk ikan pelagis besar seperti tuna tahun 1956. Pada akhir tahun 60an hingga awal tahun 70an, kegiatan penangkapan ikan mengalami peningkatan yang signifikan yang ditandai dengan semakin meningkatnya upaya penangkapan ikan, baik oleh pengusaha lokal maupun kerjasama dengan pihak asing.

Pendugaan Stok Sumberdaya Ikan
Sadar bahwa angka potensi sangat diperlukan dan bermanfaat pada perikanan yang belum dan akan berkembang, pemerintah melalukan pendugaan angka produksi sumberdaya ikan di seluruh perairan Indonesia. Hasil pengkajian tersebut menemukan bahwa potensi sumberdaya ikan perairan Indonesia sekitar 3.600.000 ton/tahun. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut, potensi sumberdaya ikan Indonesia mencapai 4.5 juta ton/tahun. Setelah Indonesia memiliki hak pengelolaan terhadap Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (1980), potensi sumberdaya ikan bertambah sebesar 2.100.000 ton/tahun sehingga potensi sumberdaya ikan lautan Indonesia menjadi 6.6 juta ton/tahun.

Tahun 1990, berdasarkan kajian direktorat perikanan, potensi sumberdaya ikan kelompok demersal diduga mempunyai potensi sebesar 233.800 ton/tahun, namun pada tahun 2001, Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP-DKP) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menduga potensi demersal turun menjadi 82.400 ton/tahun. Hasil kajian tersebut juga menerangkan bahwa sumberdaya ikan di Laut Jawa dan Selat Malaka telah mengalami gejala overfishing untuk seluruh kelompok jenis sumberdaya ikan. Gejala overfishing juga terjadi pada beberapa kelompok jenis ikan beberapa wilayah pengelolaan perikanan, seperti sumberdaya udang di Laut Cina Selatan, Selat Makassar dan Laut Flores, Teluk Tomini dan Laut Seram, Laut Arafura dan Samudera Hindia, demikian juga sumberdaya ikan demersal di Samudera Hindia, Laut Arafura dan Laut Banda.

Tahun 2000, FAO mempublikasikan lapoaran tentang kondisi sumberdaya perairan dunia termasuk Indonesia, laporan tersebut menyebutkan bahwa perairan Indonesia yang dikelompokkan dalam perairan Pasifik Barat Tengah dan Samudera Hindia Timur telah mencapai tingkat pemanfaatan penuh. Gambaran pemanfaatan sumberdaya ikan di seluruh perairan Indonesia yang diterbitkan oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberaya Ikan menunjukkan hal yang sama, bahkan beberapa kelompok jenis sumberdaya ikan di beberapa WPP juga mengalami gejala overfishing.

Artinya, berdasarkan hasil kajian yang ada, sumberdaya ikan yang dianugerahkan oleh Tuhan YME di bumi pertiwi yang dulunya melimpah ruah kini perlahan namun pasti mulai berkurang. Apa yang sebenarnya terjadi. Mungkinkah telah terjadi kesalahan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di perairan Indonesia? Meski kita tidak bisa menjawab secara pasti, namun satu hal yang pasti bahwa penataan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan perlu terus dilakukan agar mampu memberikan kesejahteraan kepada sebagian besar nelayan.

Tidak sedikit orang yang meragukan keakuratan data yang kita miliki serta hasil penelitian yang telah dilakukan, namun suka tidak suka, kenyataan dilapangan bahwa ikan semakin sulit tertangkap, ukurannya relative lebih kecil serta nelayan semakin sulit menangkap ikan jenis tertentu yang mempunyai nilai ekonomis penting.

Informasi dan data tersebut memberi pesan kuat kepada kita dan stakeholders perikanan bahwa perlahan namun pasti, sumberdaya ikan kita semakin kritis. Informasi ini merupakan sinyal kuat bahwa dimasa mendatang, tingkat eksploitasi sumberdaya ikan tidak boleh lagi dilakukan seperti tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan pengelolaan harus lebih dirancang secara cermat dan hati-hati sehingga tidak menimbulkan dampak negative terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan.

The Last Fishing Ground
Laut Arafura yang merupakan salah satu daerah penangkapan ikan yang sangat potensial dengan sumberdaya ikan utama ikan demersal dan udang udang. Saat ini, perairan tersebut merupakan salah satu daerah utama penangkapan ikan demersal dan udang di Indonesia, dimana dalam 3 (tiga) dekade terakhir perkembangan upaya pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Arafura semakin meningkat yang ditandai dengan meningkatnya jumlah perusahaan dan armada perikanan yang beroperasi di perairan Arafura. Sementara, sejumlah perusahaan baru juga telah merencanakan untuk melaksanakan usaha penangkapan di perairan tersebut.

Sejalan dengan upaya pengembangan perekonomian, khususnya dalam pemerataan pembangunan, pengembangan kawasan Indonesia Bagian Timur merupakan skala prioritas. Penbangunan sektor perikanan tangkap yang merupakan salah satu sub sektor unggulan dari sektor kelautan dan perikanan saat ini tentunya diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam mensejahterakan nelayan serta berdampak positif bagi kemajuan daerah. Daerah-daerah yang terkait langsung dengan laut Arafura tentunya melihat sumberdaya perikanan laut Arafura sebagai potensi besar yang bisa memberikan nilai dan manfaat bagi pembagunan dan kemajuan perekonomian daerah. Salah satu strategi yang mungkin dilakukan adalah menambah upaya melalui penambahan jumlah armada penangkapan ikan. Semua pihak berharap sumberdaya ikan di Laut Arafura menjadi harapan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan termasuk mampu mensejahterakan nelayan lokal.

Namun perlu diingat bahwa kondisi sumberdaya ikan khususnya ikan demersal dan udang di Laut Arafura tidak jauh lebih baik dibanding dengan kondisi sumberdaya ikan di beberapa WPP yang lain. Berdasarkan hasil kajian stok ikan tahun 2002 oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap (BRKP), untuk sumberdaya udang, ikan demersal telah menunjukkan fase eksploitasi secara penuh, bahkan telah dieksploitasi secara berlebihan. Penurunan stok udang di WPP Arafura tersebut antara lain ditengarai oleh (1) penurunan laju tangkap (CPUE), (2) dominasi species hasil tangkapan oleh rajungan yang mencapai 80 % dari total hasil tangkapan udang dan krustacea lainnya, (3) dominasi udang jerbung diganti oleh udang dogol, dan (4) penurunan rata-rata ukuran udang dari 10-30 per kg menjadi 36-60 ekor per kg.

Pada akhir tahun 90an hingga awal tahun 2000an, udang berukuran kecil cenderung mendominasi hasil tangkapan. Akibatnya, proporsi berat udang berukuran besar yang diekspor semakin sedikit, di lain pihak proporsi berat udang berukuran kecil semakin banyak. Sebelumnya, pada tahun 1993, Iskandar et.al melakukan penelitian di perairan laut Arafura juga menunjukkan fenomena yang sama, dimana prosentase produksi udang ukuran besar yang berasal dari Laut Arafura sejak tahun 1985 sampai 1990 cenderung menurun. Sebaliknya udang yang berukuran kecil cenderung meningkat. Selanjutnya, hasil penelitian Sumiono et.al (1998) di perairan Kaimana menyimpulkan bahwa udang berukuran kecil lebih bayak daripada udang berukuran besar.

Bagan Siapi-api, Laut Jawa, Selat Malaka tidak lagi mengeluarkan “aroma” ikan semerbak dulu, dan membutuhkan waktu dan biaya besar untuk pulih, akankah kita membiarkan sumberdaya perikanan laut arafura yang diyakini oleh sebagian pihak sebagai lumbung udang dan ikan demersal tidak lagi mempesona seperti dulu.

Semua pihak perlu menyadari bahwa pembangunan sektor perikanan tidak selalu berarti penambahan jumlah armada penangkapan ikan, tetapi yang jauh lebih penting adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dengan tetap memperhatikan daya dukung sumberdaya ikan. Oleh karenanya, pemanfaatan sumberdaya ikan yang diyakini oleh sebagian pihak sebagai lumbung udang dan ikan demersal perlu dilakukan secara lebih hati-hati agar potensi sumbedaya ikan tersebut tidak hanya dinikmati oleh generasi sekarang tetapi juga oleh generasi yang akan datang.

Kebijakan yang tepat diharapkan dapat mengembalikan kondisi perairan laut arafura, bukan hanya sebagai lumbung perikanan ikan demersal dan udang tapi juga menjadi pertahanan terakhir sumberdaya perikanan yang mampu memberikan manfaat bagi bangsa dan negara. Patut diingat kembali bahwa sumberdaya ikan bukanlah milik kita, tapi hanya titipan anak cucu kita untuk kita manfaatkan sekaligus berkewajiban menjaga kelestariannya.

Tidak ada komentar: