Rabu, 28 Januari 2009

Nelayan dan Pukat Hela

Sejak diterbitkannya, peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 06 tahun 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara belum juga dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Padahal peraturan yang dirancang untuk menjadi pintu solusi pengelolaan perikanan yang lebih baik di kawasan tersebut mempunyai batas waktu dalam implementasinya.

Meski banyak pihak memandang peraturan tersebut sebagai langkah mundur pemerintah dalam mensejahterakan nelayan kecil dan upaya melegalkan penggunaan alat tangkap yang berpotensi merusak sumberdaya ikan dan lingkungan perairan Indonesia, pro nelayan besar/pengusaha bahkan memicu timbulnya konflik antar nelayan. Namun pemerintah berkeyakinan bahwa peraturan tersebut merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dalam menyelesaikan berbagai isu dan permasalahan yang ada di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara seperti semakin, kesenjangan teknologi antar nelayan lokal maupun nelayan lokal dengan nelayan Malaysia, illegal trading, IUU fishing, penegakan hukum, ketimpangan pembangunan di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia. Semestinya semua pihak memahami hal tersebut,dan bersama-sama mengawasi pelaksanaannya di lapangan.

Mengapa Permen KP No. 06 tahun 2008 diperlukan
Pada dasarnya, penerbitan peraturan tersebut dimaksudkan sebagai upaya mengoptimalisasikan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan khususnya demersal dan udang secara lestari. Kegiatan optimalisasi ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan memperkuat posisi tawar nelayan di perairan perbatasan Kalimantan Timur bagian utara dengan negara tetangga.

Perlu diketahui bahwa lebih dari 50% nelayan diperairan ini menggunakan alat tangkap pukat hela, artinya nelayan tersebut selama ini melakukan penangkapan secara illegal karena tidak terdaftar dan memiliki ijin resmi dari instansi yang berwenang. AKibatnya, nelayan tidak memiliki rasa aman dan nyaman dalam kegiatan menangkap ikan. Dan yang lebih memprihatinkan, nelayan tersebut menggunakan kapal motor yang berukuran kecil atau sekitar 1- 10 GT.

Akibat kapal yang tidak terdata dan berijin tersebut, sebagian besar produksi perikanan tangkap tidak didaratkan di tempat pendaratan ikan sebagaimana mestinya, namun sebaliknya, hasil tangkapan mereka langsung dijual ke negara tetangga dan tidak tercatat sebagai hasil produksi perikanan Indonesia. Kondisi ini menimbulkan ketidakharmonisan hubungan antara Indonesia dan negara tetangga.

Kondisi tersebut banyak terjadi di perairan lain di Indonesia, namun karena kompleksitas isu dan permasalahan di perairan Kalimantan timur bagian utara dan desakan dari berbagai pihak seperti dari tokoh nelayan dan masyarakat, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia propinsi dan kabupaten/kota terkait serta pejabat daerah setempat, penataan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan perairan ini menjadi prioritas.

Perlu diketahu pula bahwa penyusunan peraturan menteri mengenai pelegalan pukat hela di perairan Kalimantan Timur bagian Utara telah melalui berbagai tahapan dari mulai permintaan dari masyarakat nelayan Kalimantan Timur, pertemuan dengan anggota dewan perwakilan rakyat pusat dan daerah, survei lapangan, kooordinasi dengan stakeholder, hingga konsultasi publik penyusunan draft Permen, baik yang dilakukan di tingkat propinsi, kab/kota maupun di Jakarta dengan melibatkan HNSI, Dinas Perikanan dan Kelautan serta Anggota DPRD Kalimantan Timur.

Pemutihan Pukat Hela.
Pukat hela digunakan nelayan di perairan ini sejak tahun 70an, meski Kepres tahun 39 tahun 1980 tentang pelarangan pengoprasian trawl diterbitkan pemerintah, pukat hela tetap menjadi alat tangkap utama didaerah ini. Mengapa demikian? Perlu diketahui bahwa karakteristik dan/atau kondisi geografis wilayah Kalimantan Timur bagian Utara berpasir dan sedikit bercampur lumpur, kondisi seperti itu sangat sesuai dengan habitat udang. Untuk memanfaatkan sumberdaya udang yang ada didaerah tersebut, alat tangkap yang paling efektif dan efisien adalah pukat hela. Tidak heran bila akhirnya nelayan tetap mempertahankan alat tangkap ini meski secara illegal/tidak sah.

Untuk menyelamatkan keberlangsungan usaha nelayan setempat, pemerintah memberikan kesempatan kepada nelayan untuk mendaftarkan alat tangkap yang selama ini mereka gunakan sampai waktu yang ditentukan. Kesempatan ini hanya diberikan kepada nelayan yang telah menggunakan alat tangkap tersebut sebelumnya dan berdomisili didaerah tersebut, sedangkan tidak ada peluang untuk alat tangkap baru dan atau nelayan yang berasal dari luar wilayah. Dengan kata lain, alat tangkap tersebut hanya diberikan kesempatan berusaha sampai waktu tertentu sebelum pemerintah melakukan pengkajian melalui monitoring dan evaluasi sumberdaya ikan dan lingkungan serta aspek sosekbud sebelum menentukan langkah pengelolaan lebih lanjut.

Dengan kebijakan ini tentunya nelayan memiliki kepastian hukum dalam berusaha dan mempunyai hak-hak berusaha seperti layaknya warga negara yang lain. Dan sebaliknya, bila kebijakan ini tidak berjalan, sebagian besar nelayan tidak nyaman melaut, negara akan kehilangan data produksi, jumlah kapal dan armada, posisi tawar nelayan yang semakin lemah, serta berpotensi menyebabkan kesalahan dalam menyusun program dan rencana pengelolaan perikanan di daerak tersebut.

Selasa, 27 Januari 2009

Menyatukan Langkah dalam Pemacuan Sumberdaya Ikan

Meski kegiatan pemacuan sumberdaya ikan yang sudah lama dilakukan di perairan umum Indonesia berupa penebaran dan atau introduksi ikan, namun kegiatan tersebut belum dapat dikatakan memperoleh hasil maksimal sebagaimana yang diharapkan. Ketidakberhasilan kegiatan pemacuan sumberdaya ikan tersebut umumnya disebabkan karena dilakukan tanpa didasari pertimbangan ilmiah yang memadai dan jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan monitoring keberhasilan ataupun kegagalannya.

Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi pemacuan stok saat ini serta hasil riset BRKP tahun 2006 yang menunjukkan bahwa potensi sumberdaya ikan di perairan umum dapat mencapai 6,4 juta/tahun bila kegiatan pemacuan stok diperairan umum dilakukan secara seksama. Oleh karenanya, dalam beberapa tahun, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap terus mengupayakan berbagai upaya untuk menggalakan kegiatan pemacuan stok tersebut, baik dalam bentuk seminar dan temu pakar, penyusunan panduan pemacuan stok serta usulan kepmen Kelautan Perikanan tentang pemacuan stok sumberdaya ikan.

Hal lain yang menjadi pertimbangan pemerintah tentang perlunya dukungan semua pihak terhadap pelaksanaan kegiatan pemacuan stok adalah akibat terjadinya gejala overfishing terhadap berbagai jenis kelompok sumberdaya ikan yang ditandai dengan semakin mengecilnya ukuran ikan dibanding beberapa tahun sebelumnya, produkstivitas hasil tangkapan semakin menurun, terjadi penurunan produksi secara signifikan dan terjadinya booming species tertentu (Kajiskan dan BRKP, 2006).

Teknologi pemacuan stok sebenarnya telah dikembangkan di Jepang sejak tahun 1963, dengan pengkayaan stok ini, Jepang dapat mempertahankan hasil tangkapan pada level 15.000-an ton sejak tahun 1986 sampai 1995. Kondisi perikanan yang dialami Jepang saat itu hampir sama yang dialami Indonesia sekarang ini. Kita dapat belajar dari kebijakan Jepang tersebut dalam mempertahankan kekayaan sumberdaya ikan.

Kegiatan pemacuan stok dipandang sebagai salah satu upaya yang tepat untuk meningkatkan populasi ikan sehingga ikan disuatu perairan meningkat dan kelestarian sumberdaya ikan dapat dipertahankan bahkan produksinya dapat ditingkatkan. Oleh karenanya pemerintah Indonesia perlu mengambil sikap dan cepat bertindak agar stok ikan tangkapan di Indonesia tetap terjaga kelestariannya dan tidak terus terjadi penurunan dari tahun ke tahun bahkan sebaliknya, pemacuan stok dapat meningkatkan produksi perikanan tangkap serta meningkatkan kesejakteraan nelayan.

Pemacuan stok bukan hanya pelepasan juvenile (benih ikan berukuran besar) ke perairan lingkungan alam dengan tujuan untuk meningkatkan populasi ikan tertentu, akan tetapi pemacuan stok merupakan suatu sistem yang lebih kompleks yang dimulai dengan pembentukan kelembagaan, strategi penebaran, monitoring dan pengawasan serta pengolahan dan pemasaran.

Pihak yang terlibat dalam pemacuan stok tidak hanya melibatkan pemerintah, akan tetapi nelayan, pembudidaya ikan dan pengusaha perikanan harus diberikan peluang yang lebih besar dalam bisnis pemacuan stok ini. Posisi pemerintah hanya sebagai fasilitator dan katalisator dalam pengembangan sistem bisnis pemacuan stok.

Sistem bisnis pemacuan stok dikelompokkan kedalam 3 (tiga) sub sistem, yaitu input, proses dan outpun. Input sistem pemacuan stok terdiri dari pengelolaan hatchery (pembibitan ikan) dan pembesaran. Pengelolaan hatchery cenderung memerlukan biaya yang besar, sehingga peran pengusaha perikanan dalam bidang ini sangat diperlukan. Pemilihan bibit ikan yang akan ditebar perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain ikan tersebut akan diterima oleh pasar, merupakan ikan konsumsi oleh masyarakat sekitar, mempunyai kemampuan memanfaatkan sumberdaya makanan yang tersedia secara alamiah, tingkat pertumbuhannya cepat serta konvertor makanan yangyang efisien.

Bibit ikan yang ada di hatchery selanjutnya dilakukan proses pembesaran. Secara ekobiologis, kegiatan ini selain berguna untuk membesarkan ikan sehingga mencapai ukuran tertentu layak ditebar, juga agar ikan tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Sedangkan secara sosioekonomis, kegiatan ini bermanfaat agar nelayan dan pembudidaya ikan dapat terlibat langsung dalam sistem pemacuan stok dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan. Kegiatan pembesaran biasanya dilakukan dalam beberapa tahap, tergantung ukuran yang diinginkan untuk ditebar sehingga manfaat ekonomi yang diperoleh nelayan menjadi lebih besar.
Sub sistem selanjutnya adalah proses yang meliputi penebaran ikan (stocking) ke perairan, penangkapan dan pengawasan. Efektivitas stocking ini ditentukan oleh tiga faktor penting yaitu teknik dan taktik pelepasan yang ditentukan oleh faktor manusia; kualitas ikan yang ditentukan oleh proses pembenihan/pembesaran; dan kondisi lingkungan yang ditentukan oleh faktor-faktor perairan tempat pelepasan. Teknik dan taktik pelepasan melibatkan permasalahan kapan, dimana, bagaimana dan berapa banyak benih harus dilepas ke alam. Survei kondisi lingkungan daerah sasaran stoking harus mampu memberi informasi tentang kelimpahan makanan alami ikan yang akan dilepas; hewan-hewan predator; habitat dan segala kondisi fisik daerah seperti temperature, salinitas dan arus. Semua informasi tersebut akan sangat membantu memecahkan masalah teknik dan taktik pelepasan.

Kualitas ikan juga ditentukan oleh aspek morfologi dan fisiologi. Kesempurnaan kedua aspek ini dicirikan dengan adanya benih yang sehat dan aktif, yang dijadikan prasyarat bisa digunakannya benih untuk pemacuan stok. Namun ternyata benih yang sehat dan aktif inipun tidak selalu berkorelasi positif dengan rasio tertangkap kembalinya ikan (recapture rate) ikan. Jadi, selain aspek morfologi dan fisiologi, aspek tingkah laku benih juga perlu diperhatikan.

Agar nelayan mempunyai rasa tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi ikan yang ditebar ke alam, kelompok nelayan perlu diberikan kewewenangan untuk melakukan kegiatan penebaran ikan. Namun demikian, pemerintah perlu menyusun langkah-langkah operasional yang tepat dalam kegiatan pengawasan untuk menjamin keberhasilan kegiatan pemacuan stok tersebut. Kebijakan tentang pembatasan jumlah tangkapan dan penutupan musim dan wilayah penangkapan perlu ditetapkan dan disepakati sebelumnya oleh seluruh stakeholders perikanan setempat.

Output yang didapatkan pengembangan sistem bisnis pemacuan stok bukan hanya keuntungan ekonomi oleh nelayan berupa peningkatan produksi perikanan, tetapi juga dengan pengolahan ikan tang tepat dapat meningkatkan mutu dan nilai jual ikan tersebut. Selain itu, lokasi pemacuan stok dapat pula dikembangkan menjadi kawasan wisata dan penelitian perikanan yang dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar.

Laut Arafura: The Last Fishing Ground?

Banyak dari kita meyakini bahwa sumberdaya ikan yang telah dihamparkan oleh Tuhan YME di bumi Indonesia sangatlah melimpah dan bila dikelolah secara arif dan bijaksana, sumberdaya ikan tersebut pantas dijadikan sandaran hidup nelayan Indonesia saat ini. Dan mungkinkah sumberdaya tersebut masih bisa juga menjadi sandaran hidup dan dinikmati oleh generasi yang akan datang? Ataukah cerita melimpahnya ikan di bumi pertiwi hanya dapat diketahui dari buku sejarah masa lalu. Wallahu Alam

Meski tidak ada catatan mengenai potensi sumberdaya ikan yang terkandung di perairan indonesia, tahun 1940-an diperkirakan sumberdaya ikan di perairan Indonesia sangat melimpah. Bahkan seniman negeri mengabadikannya dalam sebuah bait lagu “Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu” kutipan lagu tersebut cukup memberi gambaran kepada kita betapa bangsa ini memiliki kekayaan sumberdaya ikan yang sangat melimpah.

Afdeeling Visserij (bagian perikanan) yang dibentuk oleh pemerinta Hindia Belanda tanggal 1 Januari 1914 menegaskan bahwa secara umum atau sekitar 95 % kegiatan penangkapan ikan saat itu hanya ditujukan untuk kebutuhan rumah tangga. Selain karena kegiatan industri perdagangan perikanan belum berjalan, kemampuan masyarakat dalam penguasaan teknologi dan armada penangkapan masih sangat kurang. Nelayan umumnya menggunakan sampan untuk menangkap ikan, sehingga wilayah penangkapan hanya terbatas pada daerah sekitar pantai.

Pemanfaatan secara terbatas ternyata tidak berlaku diseluruh perairan Indonesia, tahun 1930 hingga 1970, Bagan Siapi-api, sebuah sentra penangkapan ikan di selat malaka, dikenal sebagai suatu kawasan perikanan terbesar di asia bahkan dunia. Data statistik perikanan yang dikeluarkan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1930 mencatat bahwa produksi ikan di pelabuhan Bagan Siapi-api mencapai rata-rata 300.000 ton/tahun. Produksi itu telah menempatkan pelabuhan ini sebagai daerah penghasil ikan terbesar di asia bahkan kedua di dunia setelah Norwegia.

Dan sejarah mencatat pula bahwa awal tahun 70an, produksi ikan di Bagan Siapi-api berangsur-angsur turun dan tidak pernah bangkit lagi seperti sebelumnya. Kesibukan di pelabuhan bagan siapi-api tidak lagi terlihat, aktivitas perdagangan ikan hilang bak di telan bumi dan aroma “sedap” ikan yang menyebar di seluruh bagan tak lagi tercium. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat terhadap sumberdaya ikan, orientasi penangkapan ikan tidak lagi berbasis skala rumah tangga tapi mulai berkembang menjadi skala industri. Di wilayah perairan Indonesia, khususnya bagian barat Indonesia, sekitar tahun 1950, aktivitas penangkapan ikan mulai dilakukan dengan menggunakan alat tangkap payang penangkapan ikan pelagis, kemudian jaring trawl untuk menangkap udang dan ikan demersal serta longline untuk ikan pelagis besar seperti tuna tahun 1956. Pada akhir tahun 60an hingga awal tahun 70an, kegiatan penangkapan ikan mengalami peningkatan yang signifikan yang ditandai dengan semakin meningkatnya upaya penangkapan ikan, baik oleh pengusaha lokal maupun kerjasama dengan pihak asing.

Pendugaan Stok Sumberdaya Ikan
Sadar bahwa angka potensi sangat diperlukan dan bermanfaat pada perikanan yang belum dan akan berkembang, pemerintah melalukan pendugaan angka produksi sumberdaya ikan di seluruh perairan Indonesia. Hasil pengkajian tersebut menemukan bahwa potensi sumberdaya ikan perairan Indonesia sekitar 3.600.000 ton/tahun. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut, potensi sumberdaya ikan Indonesia mencapai 4.5 juta ton/tahun. Setelah Indonesia memiliki hak pengelolaan terhadap Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (1980), potensi sumberdaya ikan bertambah sebesar 2.100.000 ton/tahun sehingga potensi sumberdaya ikan lautan Indonesia menjadi 6.6 juta ton/tahun.

Tahun 1990, berdasarkan kajian direktorat perikanan, potensi sumberdaya ikan kelompok demersal diduga mempunyai potensi sebesar 233.800 ton/tahun, namun pada tahun 2001, Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP-DKP) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menduga potensi demersal turun menjadi 82.400 ton/tahun. Hasil kajian tersebut juga menerangkan bahwa sumberdaya ikan di Laut Jawa dan Selat Malaka telah mengalami gejala overfishing untuk seluruh kelompok jenis sumberdaya ikan. Gejala overfishing juga terjadi pada beberapa kelompok jenis ikan beberapa wilayah pengelolaan perikanan, seperti sumberdaya udang di Laut Cina Selatan, Selat Makassar dan Laut Flores, Teluk Tomini dan Laut Seram, Laut Arafura dan Samudera Hindia, demikian juga sumberdaya ikan demersal di Samudera Hindia, Laut Arafura dan Laut Banda.

Tahun 2000, FAO mempublikasikan lapoaran tentang kondisi sumberdaya perairan dunia termasuk Indonesia, laporan tersebut menyebutkan bahwa perairan Indonesia yang dikelompokkan dalam perairan Pasifik Barat Tengah dan Samudera Hindia Timur telah mencapai tingkat pemanfaatan penuh. Gambaran pemanfaatan sumberdaya ikan di seluruh perairan Indonesia yang diterbitkan oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberaya Ikan menunjukkan hal yang sama, bahkan beberapa kelompok jenis sumberdaya ikan di beberapa WPP juga mengalami gejala overfishing.

Artinya, berdasarkan hasil kajian yang ada, sumberdaya ikan yang dianugerahkan oleh Tuhan YME di bumi pertiwi yang dulunya melimpah ruah kini perlahan namun pasti mulai berkurang. Apa yang sebenarnya terjadi. Mungkinkah telah terjadi kesalahan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di perairan Indonesia? Meski kita tidak bisa menjawab secara pasti, namun satu hal yang pasti bahwa penataan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan perlu terus dilakukan agar mampu memberikan kesejahteraan kepada sebagian besar nelayan.

Tidak sedikit orang yang meragukan keakuratan data yang kita miliki serta hasil penelitian yang telah dilakukan, namun suka tidak suka, kenyataan dilapangan bahwa ikan semakin sulit tertangkap, ukurannya relative lebih kecil serta nelayan semakin sulit menangkap ikan jenis tertentu yang mempunyai nilai ekonomis penting.

Informasi dan data tersebut memberi pesan kuat kepada kita dan stakeholders perikanan bahwa perlahan namun pasti, sumberdaya ikan kita semakin kritis. Informasi ini merupakan sinyal kuat bahwa dimasa mendatang, tingkat eksploitasi sumberdaya ikan tidak boleh lagi dilakukan seperti tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan pengelolaan harus lebih dirancang secara cermat dan hati-hati sehingga tidak menimbulkan dampak negative terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan.

The Last Fishing Ground
Laut Arafura yang merupakan salah satu daerah penangkapan ikan yang sangat potensial dengan sumberdaya ikan utama ikan demersal dan udang udang. Saat ini, perairan tersebut merupakan salah satu daerah utama penangkapan ikan demersal dan udang di Indonesia, dimana dalam 3 (tiga) dekade terakhir perkembangan upaya pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Arafura semakin meningkat yang ditandai dengan meningkatnya jumlah perusahaan dan armada perikanan yang beroperasi di perairan Arafura. Sementara, sejumlah perusahaan baru juga telah merencanakan untuk melaksanakan usaha penangkapan di perairan tersebut.

Sejalan dengan upaya pengembangan perekonomian, khususnya dalam pemerataan pembangunan, pengembangan kawasan Indonesia Bagian Timur merupakan skala prioritas. Penbangunan sektor perikanan tangkap yang merupakan salah satu sub sektor unggulan dari sektor kelautan dan perikanan saat ini tentunya diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam mensejahterakan nelayan serta berdampak positif bagi kemajuan daerah. Daerah-daerah yang terkait langsung dengan laut Arafura tentunya melihat sumberdaya perikanan laut Arafura sebagai potensi besar yang bisa memberikan nilai dan manfaat bagi pembagunan dan kemajuan perekonomian daerah. Salah satu strategi yang mungkin dilakukan adalah menambah upaya melalui penambahan jumlah armada penangkapan ikan. Semua pihak berharap sumberdaya ikan di Laut Arafura menjadi harapan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan termasuk mampu mensejahterakan nelayan lokal.

Namun perlu diingat bahwa kondisi sumberdaya ikan khususnya ikan demersal dan udang di Laut Arafura tidak jauh lebih baik dibanding dengan kondisi sumberdaya ikan di beberapa WPP yang lain. Berdasarkan hasil kajian stok ikan tahun 2002 oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap (BRKP), untuk sumberdaya udang, ikan demersal telah menunjukkan fase eksploitasi secara penuh, bahkan telah dieksploitasi secara berlebihan. Penurunan stok udang di WPP Arafura tersebut antara lain ditengarai oleh (1) penurunan laju tangkap (CPUE), (2) dominasi species hasil tangkapan oleh rajungan yang mencapai 80 % dari total hasil tangkapan udang dan krustacea lainnya, (3) dominasi udang jerbung diganti oleh udang dogol, dan (4) penurunan rata-rata ukuran udang dari 10-30 per kg menjadi 36-60 ekor per kg.

Pada akhir tahun 90an hingga awal tahun 2000an, udang berukuran kecil cenderung mendominasi hasil tangkapan. Akibatnya, proporsi berat udang berukuran besar yang diekspor semakin sedikit, di lain pihak proporsi berat udang berukuran kecil semakin banyak. Sebelumnya, pada tahun 1993, Iskandar et.al melakukan penelitian di perairan laut Arafura juga menunjukkan fenomena yang sama, dimana prosentase produksi udang ukuran besar yang berasal dari Laut Arafura sejak tahun 1985 sampai 1990 cenderung menurun. Sebaliknya udang yang berukuran kecil cenderung meningkat. Selanjutnya, hasil penelitian Sumiono et.al (1998) di perairan Kaimana menyimpulkan bahwa udang berukuran kecil lebih bayak daripada udang berukuran besar.

Bagan Siapi-api, Laut Jawa, Selat Malaka tidak lagi mengeluarkan “aroma” ikan semerbak dulu, dan membutuhkan waktu dan biaya besar untuk pulih, akankah kita membiarkan sumberdaya perikanan laut arafura yang diyakini oleh sebagian pihak sebagai lumbung udang dan ikan demersal tidak lagi mempesona seperti dulu.

Semua pihak perlu menyadari bahwa pembangunan sektor perikanan tidak selalu berarti penambahan jumlah armada penangkapan ikan, tetapi yang jauh lebih penting adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dengan tetap memperhatikan daya dukung sumberdaya ikan. Oleh karenanya, pemanfaatan sumberdaya ikan yang diyakini oleh sebagian pihak sebagai lumbung udang dan ikan demersal perlu dilakukan secara lebih hati-hati agar potensi sumbedaya ikan tersebut tidak hanya dinikmati oleh generasi sekarang tetapi juga oleh generasi yang akan datang.

Kebijakan yang tepat diharapkan dapat mengembalikan kondisi perairan laut arafura, bukan hanya sebagai lumbung perikanan ikan demersal dan udang tapi juga menjadi pertahanan terakhir sumberdaya perikanan yang mampu memberikan manfaat bagi bangsa dan negara. Patut diingat kembali bahwa sumberdaya ikan bukanlah milik kita, tapi hanya titipan anak cucu kita untuk kita manfaatkan sekaligus berkewajiban menjaga kelestariannya.

DI ATAS K.M. KOSHIN MARU 01

Penelitian Sumber Daya Ikan Laut Dalam di Wilayah Perairan Indonesia masih belum banyak dilaksanakan. Penelitian-penelitian Sumber Daya Ikan Laut Dalam yang pernah dilaksanakan di Indonesia antara lain; Ekspedisi Siboga (1899 – 1990) di Perairan Indonesia bagian timur, Ekspedisi Snellius II 1984 – 1985) di Perairan Laut Banda, Laut Arafura dan Laut Flores. Kemudian Ekspedisi Karubar I (1991) di Perairan Kei, Aru dan Tanimbar serta Survei Eksplorasi oleh Fisheries Research and Development Agency Korea (1975) di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa.

Kegiatan eksplorasi sumberdaya ikan demersal laut dalam di Samudera Hindia pada tahun 2008 memasuki tahap pemanfaatan secara komersial. Setelah sebelumnya pada tahun 2004 dan 2005 telah melaksanakan tahap penelitian dalam kerjasama riset antara BRKP dan OFCF. Pada tanggal 10 Oktober 2007 ditanda tangani Kesepakatan (Arrangement ) antara Jepang yang diwakili oleh President of Japan Deep Sea Trawler Association (JDSTA ) dan Indonesia -Departemen Kelautan dan Perikanan yang diwakili oleh Kepala Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BBPPI). Satu unit kapal trawl “K.M. Koshin Maru no 01” akan melakukan “Uji Coba Penangkapan Ikan” (fishing trial ) dalam kurun waktu 9 Januari sampai 8 April 2008. Kegiatan penangkapan ikan oleh KM. Koshin Maru 01 pada trip 1 telah dilaksanakan selama 57 hari dimulai dari tanggal 9 Januari sampai 5 Maret 2006.

Uji coba penangkapan ikan dimaksudkan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang daerah penangkapan (fishing ground) dan spesies yang mempunyai nilai ekonomis tinggi serta untuk melakukan studi kelayakan untuk Penangkapan Laut Dalam skala komersial di perairan ZEEI Samudera Hindia pantai barat Sumatera. Kapal yang digunakan adalah kapal penangkap ikan laut dalam komersil berukuran 1500 GT dengan alat tangkap Stern trawl Laut Dalam milik Jepang.

Salah satu kesepakatan kedua belah pihak yaitu selama fishing trial tersebut berlangsung pemerintah Indonesia mengikutsertakan tenaga observer diatas kapal. Laporan observer menyebutkan bahwa dalam Trip I tersebut membawa 13 orang ABK Jepang, 22 orang ABK Indonesia, 1 orang Sekurity Officer dari BAIS Indonesia, dan 3 orang observer dari DKP dengan daerah penangkapan di perairan Samudera Hindia (zona ekonomi ekslusif Indonesia) sebelah barat Sumatera mulai dari 94 0 E – 105 0 E dan 6 0 N – 10 0 S.

Kapal Koshinmaru 01 berangkat dari Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus pada hari Rabu, tanggal 9 Januari 2008 dengan dilepas oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dan berakhir tanggal 5 Maret 2008 seiring dengan bergantinya observer (Trip I). Selama trip I berlangsung Koshinmaru telah dua kali merapat di pelabuhan yakni di pelabuhan Lanal Sabang dan pelabuhan Phuket, Thailand mendaratkan ikan hasil tangkapan.

Operasi penangkapan (setting dan hauling) dilaksanakan dua sampai tujuh kali pada siang dan malam hari. Jaring dihela selama 30 menit sampai 4 jam dengan kecepatan antara 2 sampai 4 knot. Secara umum panjang warp ter area adalah 2 kali dari kedalaman perairan. Lokasi trawling (fishing ground) dipilih terutama karena faktor keberadaan ikan yang telah terdeteksi dari fish finder. Kedalaman bervariasi mulai dari 50m sampai 600m pada dasar perairan yang memiliki topografi yang rata (datar) sampai yang dasarnya berbentuk gunung dan lembah.

Kapal Koshinmaru pada trip I beroperasi selama 45 hari, dengan total setting sebanyak 202 kali. Total hasil tangkapan ikan yang didapat berjumlah 792 ton dengan rincian 272 ton ikan target dan 520 ton tercatat sebagai by catch. Data ini menunjukkan bahwa kegiatan ini berpotensi besar merusak ekosistem dan lilngkungan laut dalam.

Jenis biota yang dianggap memiliki nilai ekonomis, disimpan dan didaratkan di Phuket, Thailand ada 48 jenis ikan, 3 jenis udang dan 3 jenis cumi. Beryx splendens merupakan ikan hasil tangkapan utama dominan (49.6 %), jenis ikan lain yang cukup banyak ditangkap dan diproses adalah Erythrocles schlegelii (9.6%).

Selama berlangsungnya operasi penangkapan, observer melaporkan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh KM. Koshinmaru 01, antara lain penangkapan ikan dilakukan di wilayah territorial Indonesia, menarik jarring kedalaman < style="">fishing ground nelayan tradisional trawl pada sehingga merusak beberapa alat tangkap milik nelayan setempat yang menyebabkan Koshinmaru sempat didatangi oleh nelayan tradisional, pembatasan akses observer terhadap data sehingga kesulitan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan kerjasama dengan pihak asing dimasa mendatang adalah bahwa kegiatan trial seyogyanya mempertimbangkan manfaat bagi nelayan dan pembangunan industri perikanan Indonesia dan bukan sebaliknya. Dan yang lebih penting, kegiatan semacam ini tidak berorientasi pada keuntungan ekonomi semata tetapi tetap mendahulukan kepentingan riset…


*)data sesuai dengan laporan Aris Budiarto, observer on board

IKAN TERBANG, AKAN TERUS TERBANG

Ikan terbang (Exocoetidae) adalah ikan pelagis kecil dengan ciri unik yaitu dapat terbang di permukaan air. Ikan ini diketahui mempunyai 53 spesies dan didapatkan dihampir semua perairan subtropik dan sub tropik (Parin, 1999), sedangkan di perairan nusantara, ikan terbang dijumpai sebanyak 18 spesies. Ikan ini merupakan komoditi komersial penting di beberapa wilayah tententu di tanah air, seperti Sulawesi Selatan, Maluku, dan Sulawesi Utara. Karena sifatnya yang menghindari perairan yang keruh dan berlumpur, maka ikan terbang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh keadaan lingkungan perairan.

Di Sulawesi Selatan, sekitar tahun 1981 ikan terbang pernah menyumbangkan devisa negara terbesar kedua setelah udang, namun pada tahun-tahun terakhir ini kontribusinya sudah sangat menurun. Produksi ikan terbang antara 1985-2002 di Sulawesi Selatan mengalami penurunan rata-rata 155 ton setiap tahun, sedangkan produksi telur ikan terbang menurun rata-rata sekitar 5 ton setiap tahun. Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh karena terjadi penangkapan berlebihan karena belum adanya langkah-langkah pengelolaan secara tepat.

Ikan terbang (Exocoetidae) adalah ikan pelagis kecil dengan ciri unik yaitu dapat terbang di permukaan air. Ikan ini diketahui mempunyai 53 spesies dan didapatkan dihampir semua perairan subtropik dan sub tropik (Parin, 1999), sedangkan di perairan nusantara, ikan terbang dijumpai sebanyak 18 spesies. Ikan ini merupakan komoditi komersial penting di beberapa wilayah tententu di tanah air, seperti Sulawesi Selatan, Maluku, dan Sulawesi Utara. Karena sifatnya yang menghindari perairan yang keruh dan berlumpur, maka ikan terbang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh keadaan lingkungan perairan.

Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan terbang ada dua macam, yaitu perahu Bago dan Sande. Umumnya ukuran perahu Bago yang digunakan berukuran panjang 4-6 m, lebar 3-7 m, tinggi 1-2 m dan lunasnya berbentuk V, sedangkan perahu Sande berukuran panjang 3-7 m, lebar 0,7-1,5 m, tinggi 1,5-2,0 m dengan lunas bentuk V. Sedangkan alat tangkap yang digunakan adalah jaring insang, alat ini merupakan alat tangkap yang paling efektif untuk menangkap ikan terbang. Alat ini dipakai secara luas di Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah sampai ke Maluku Tenggara. Untuk penangkapan telur ikan terbang, nelayan Sulawesi Selatan menggunakan alat tangkap bubu hanyut yang diberi daun kelapa untuk menarik ikan meletakkan telurnya (pakajja). Selain itu, nelayan juga menggunakan pula bale-bale yang juga diperuntukan untuk mengumpulkan telur. Kontruksi bale-bale lebih sederhana, yaitu berbentuk persegi empat, terbuat dari bambu dan bagian atasnya diletakkan daun kelapa. Nelayan di Maluku Tenggara menyediakan tempat bertelur ikan terbang berupa daun-daunan yang diapungkan dipermukaan air.

Upaya penangkapan berlebihan merupakan salah satu faktor yang dapat mengancam sumberdaya ikan terbang seperti pertambahan jumlah unit jaring yang dipakai menangkap induk ikan maupun melalui peningkatan kapasitas jaring dengan menambah panjang jaring diatas 1000 m. Selain itu, kemungkinan peningkatan jumlah unit rumpon (bale-bale) untuk mengoleksi telur menjadi salah satu faktor pembatas kapasitas regenerasi ikan. Selama 18 tahun terakhir (1985-2002) terjadi pertambahan upaya unit jaring (Ali et al, 2004a). Apabila penambahan upaya terus berlanjut tanpa terkendali secara biologis berbahaya terhadap kelestarian populasi ikan terbang dan secara ekonomi tidak menguntungkan.

Perkembangan alat tangkap bale-bale (rumpon) secara tak terkendali yang telah mengantikan pakkaja (bubu hanyut) sebagai alat pengumpul telur, merupakan salah satu faktor ancaman bagi populasi ikan terbang. Rumpon (bale-bale) dengan jumlah daun kelapa lebih banyak mempunyai kapasitas untuk menarik ikan terbang lebih besar untuk memijah dibanding bubu hanyut sehingga bale-bale memiliki kapasitas untuk mengoleksi telur lebih dahsyat dan dinilai kurang ramah lingkungan. Selain itu, apabila dihubungkan dengan sifat ikan terbang yang berumur pendek hanya lebih 1 tahun (tidak lebih 2 tahun) (Campana et al. 1993) dan mengalami kematian pasca pemijahan (post spawning mortality) (Khokkiattiwong, et al. 2000) maka ikan terbang yang telah memijah pada tahun pertama tidak akan kembali memijah pada tahun berikutnya. Sehingga anggapan bahwa alat rumpon (bale-bale) ramah lingkungan karena tidak menangkap induk ikan sehingga diharapkan akan kembali memijah pada tahun berikutnya bertolak belakang dengan karakter biologi reproduksi ikan terbang. Jika tidak dikendalikan dengan baik, penggunaan rumpon secara berlebihan untuk mengoleksi telur merupakan salah satu faktor utama terjadinya pemutusan siklus hidup yang mengancam populasi ikan terbang.

Salah satu faktor yang mengancam populasi dan menjadi kendala dalam pengelolaan ikan terbang adalah prilaku dan kebiasaan nelayan melakukan penangkapan saat musim pemijahan. Pada musim tersebut (Maret-­September), ikan terkonsenterasi pada wilayah tertentu, dan tertarik pada benda-benda terapung sebagai tempat memijah. Tingkah laku reproduksi ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk mengoleksi telur dengan membuat bale-bale dari daun kelapa untuk menarik ikan meletakkan telumya.

Faktor lain yang mengancam populasi ikan terbang adalah tertangkapnya ikan-ikan fase reproduktif dengan jaring pada musim pemijahan sekitar 85 % yang belum beregenerasi (Ali, 2005), serta penangkapan telur-telur ikan secara tak terkendali dengan rumpon menyebabkan terputusnya siklus hidup individu dalam jumlah yang besar, sehingga dapat mengurangi rekrutmen dan populasi ikan akan menurun.

Meski belum ada data tentang jumlah nelayan yang melakukan usaha penangkapan ikan terbang dan atau telur ikan terbang, berdasarkan informasi masyarakat, jumlah nelayan pengumpul telur ikan terbang berkurang setiap tahunnya. Sekitar tahun 1970 hampir seluruh kabupaten di pesisir Laut Flores dan Selat Makassar adalah basis penangkapan ikan terbang, namun sekarang ini sebagian besar basis penangkapan ikan terbang di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sudah tidak ada, yang tersisa hanya di Takalar, Barru, Pare-Pare, Majene dan Polmas dengan jumlah nelayan sangat terbatas. Ujung Lero Kabupaten Pinrang pernah menjadi pusat pengasapan dan pengeringan ikan terbang terbesar namun sekarang ini sudah tidak dijumpai lagi. Satu tempat pengeringan ikan yang masih bertahan ada di Kabupaten Barru.

Berdasarkan informasi awal tersebut, diketahui bahwa ada kecenderungan menurunnya hasil tangkapan perikanan dan produksi telur ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores dalam 30 tahun terakhir karena berbagai faktor penyebab. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan memerlukan komitmen dan kerjasama semua pihak untuk mengelolah perikanan ikan terbang secara bijaksana, sehingga usaha perikanan ini dapat tetap bertahan dan berkembang bagi kepentingan masyarakat, khususnya nelayan. Salah satu solusi yang perlu dilakukan yaitu dengan membuat Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP).

Bertempat di Bogor, tanggal 25 – 26 Agustus 2008, Direktorat Sumberdaya Ikan Ditjen Perikanan Tangkap bekerjasama dengan P2O LIPI mengadakan wokshop penyusunan naskah akademik sebagai bahan dalam penyempurnaan RPP ikan terbang, khususnya di Selat Makassar dan Laut Flores.

Workshop ini merupakan tindaklanjut dari Lokakarya Nasional Perikanan Ikan Terbang yang dilaksanakan di Makassar tahun 2005 dan workshop penyusunan draft RPP ikan terbang tahun 2006. Diharapkan agar Rencana Pengelolaan Perikanan ikan terbang tersebut dapat dijadikan pedoman dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan, khususnya ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores. Dan pada akhirnya kegiatan pemanfaatan ikan terbang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk nelayan disisi lain, dan kelestarian sumberdaya ikan ini tetap terjaga, sampai nanti. Dan bila nanti ikan terbang akan terus terbang, mengangkasa, mengiringi iringan kapal nelayan membelah lautan Indonesia, niscaya itu tidak terlepas dari upaya pengelolaan yang kita rencanakan saat ini…..

Jumat, 22 Agustus 2008

Konflik Nelayan dan FKPPS

Beberapa tahuan terakhir, konflik antar nelayan semakin marak terjadi di berbagai wilayahperairan di tanah air. Sejumlah alasan dilontarkan oleh para pakar dan praktisi sebagai ”biang kerok” terjadinya konflik antar nelayan di Indonesia, seperti perebutan fishing ground (daerah penangkapan ikan), dampak penerapan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, perbedaan teknologi penangkapan, kesenjangan sosial dan banyak lagi alasan yang lain.

Namun demikian, setiap konflik nelayan yang terjadi mempunyai kekhasan tersendiri dan melibatkan banyak pihak yang memiliki kepentingan dan motivasi yang berbeda-beda pula. Tidak semua konflik yang terjadi disebabkan oleh perbedaan teknologi penangkapan dan atau perebutan daerah penangkapan ikan yang potensial, dan atau factor lainnya. Bahwa konflik nelayan yang terjadi penyebabnya beragam, bisa saja faktor yang menyebabkannya berdiri sendiri, atau dapat pula merupakan kolaborasi antara beberapa faktor.

Sekedar mereview kembali ke tahun 70an, di berbagai daerah di sekitar pantai utara Jawa, muncul konflik antara nelayan yang menggunakan trawl (pukat harimau) dengan nelayan tradisional yang menggunkan peralatan tangkap sederhana seperti rawai. Untuk menghindari konflik nelayan yang lebih besar, melindungi daerah penangkapan nelayan kecil dan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan (meski belum semua peneliti sepakat bahwa trawl merusak kelestraian sumberdaya ikan), pemerintah menerbitkan kepres no. 39 tahun 1980 tentang pelarangan pengoperasian trawl di seluruh wilayah Indonesia. Dalam kasus ini banyak faktor yang menyebabkan konflik terjadi, namun penyebab utamanya adalah perbedaan alat tangkap, sehingga pelarangan salah satu alat tangkap dapat ”menyelesaikan” konflik yang terjadi.

Begitu pula halnya dengan konflik antar nelayan di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Bottom gill net (jaring batu) yang digunakan oleh nelayan Teluk Pambang ditolak pengoperasiannya oleh nelayan lain yang menggunakan rawai, kedua alat tangkap ini dioperasikan di lokasi yang sama dengan target utama penangkapan yang sama pula yakni ikan kurau (harga ikan ini dapat mencapai Rp. 300.000,00/ekor). Menurut nelayan Teluk Pambang, sejak jaring batu beroperasi, hasil tangkapan nelayan rawai semakin menurun setiap tahunnya, mereka menduga bahwa penyebab menurunannya hasil tangkapan mereka akibat beroperasinya nelayan jaring batu (meski belum dibuktikan melalui suatu kajian ilmiah). Konflik yang sudah terjadi sejak 23 tahun yang lalu ini akhirnya dapat ”diselesaikan” secara damai dengan diterbitkannya Surat Kepuusan Gubernur Riau No. 17 tahun 2006 tentang pelarangan pengoperasian jaring batu di perairan bengkalis hingga jarak 12 mil laut.

Contoh konflik lainnya terjadi antara nelayan purse seine Jawa Tengah dengan nelayan lokal Kotabaru Kalimantan Selatan dan Balikpapan Kalimantan Timur. Nelayan yang berasal dari Propinsi Jawa Tengah (Pati, Pekalongan) dilarang melakukan kegiatan penangkapan ikan di Selat Makassar oleh nelayan Kotabaru Kalimantan Selatan dan Balikpapan Kalimantan Timur. Konflik yang telah berubah menjadi kekerasan fisik tersebut ditenggarai disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ketimpangan teknologi penangkapan ikan, pelanggaran jalur penangkapan ikan serta perebutan daerah penangkapan.

Disamping kedua contoh konflik antar nelayan tersebut diatas, masih banyak konflik nelayan yang terjadi diberbagai perairan di Indonesia. Konflik nelayan tersebut dapat terjadi antar nelayan dalam satu kabupaten/kota, antar kabupaten/kota, antar propinsi atau bahkan antar negara.

Oleh karenanya, pemerintah dan atau pihak terkait lainnya perlu menyusun suatu langkah-langkah terencana dalam menagani konflik tersebut. Perlu diketahui bahwa tiap konflik mempunyai kekhasan masing-masing, oleh karenanya perlu dilakukan pemetaan konflik terlebih dahulu. Pemetaan konflik bertujuan mengidentifikasi siapa saja yang terlibat, bentuk keterlibatannya, motivasi dan waktu keterlibatan masing-masing pihak. Kegiatan ini dilakukan untuk lebih memahami konflik dengan baik dan melihat hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik secara lebih jelas sehingga metode pendekatan dan langkah-langkah penanganan konflik yang akan diterapkan dapat segera menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Peran FKPPS

Sejak tahun 1999, melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan, pemerintah telah membentuk sebuah wadah bagi seluruh pemangku kepentingan bidang kelautan dan perikanan berupa suatu forum koordinasi pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan yang kemudian disingkat FKPPS. Secara umum, pembentukan forum ini dimaksudkan untuk membahas hasil inventarisasi/masukan data dan informasi pemanfaatan sumberdaya ikan serta permasalahan/kasus yang timbul dalam pemanfaatan sumberdaya ikan laut, memberi pertimbangan pendapat maupun saran pemecahan dalam upaya menyelesaikan permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang terjadi dalam masyarakat dan untuk memberi masukan dalam upaya menetapkan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya ikan laut khususnya lintas wilayah pengelolaan.

Penanganan konflik antar nelayan tentunya merupakan salah satu tujuan dibentuknya forum ini. Oleh karenanya, pemerintah tidak perlu membentuk wadah atau lembaga yang baru, namun cukup dengan memaksimalkan fungsi dan peran FKPPS, baik ditingkat pusat dan daerah. Revitalisasi FKPPS begitu penting dilakukan saat ini, baik struktur keanggotaannya, mekanisme kerja dan pendanaannya, sehingga tujuan awal pembentukan lembaga ini dapat terwujud.

Dalam konteks penanganan konflik nelayan, adalah tidak adil menyerahkan semua penanganannya hanya kepada satu instansi dan atau satu daerah otonom saja, akan tetapi sebaliknya memerlukan keterlibatan berbagai pihak terkait, seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, TNI-AL, POLAIR, Ditjen. Perhubungan Laut (Depertemen Perhubungan), depdagri, perguruan tinggi dan HNSI. Dengan kata lain, diperlukan suatu kelembagaan yang kuat dalam menangani konflik, dimana anggotanya berasal dari berbagai instansi terkait serta mempunyai kewenangan penuh dalam menentukan langkah-langkah yang terbaik dalam mengelola konflik yang terjadi.

Begitu pula halnya dengan mekanisme kerjanya, adalah tidak bijak bila pertemuan antar anggota hanya dilakukan pada waktu tertentu yang telah lebih dulu dijadwalkan satu atau dua tahun sebelumnya. Dengan sistem kerja seperti ini, terkadang begitu banyak permasalahan dalam pengelolaan perikanan yang timbul dan membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat tidak dapat segera ditangani sehingga permasalahan tersebut berkembang menjadi lebih kompleks atau malahan menimbulkan masalah baru yang tak kalah rumitnya. Akan lebih baik bila forum ini melakukan pertemuan setiap kali timbul permasalahan dilapangan, disamping dapat memudahkan semua pihak untuk saling berkoordinasi, juga dapat lebih mempercepat penanganan konflik tersebut sehingga dampak negatif konflik yang timbul dapat dieliminasi.

Untuk pendanaan, tiap instansi terkait seyogyanya mempunyai komitmen bersama untuk menyiapkan anggaran untuk mendanai segala kegiatan lembaga ini, baik survey lapang, analisis data, pendampingan bila dibutuhkan, fasilitasi pertemuan para pihak yang berkonflik hingga sosialisasi hasil kesepakatan. Dana yang dibutuhkan untuk operasional lembaga tidaklah berarti dibanding dengan terciptanya rasa aman dan nyaman serta kesejahteraan yang akan dinikmati oleh para nelayan.

FKPPS hasil revitalisasi nantinya diharapkan dapat mengambil peran yang lebih besar, sehingga anggapan beberapa pihak yang menganggap forum ini hanya merupakan kegiatan seremonial belaka atau malah dianggap sebagai ajang silaturrahim bagi para pengambil kebijakan dibidang perikanan dan kelautan tidak lagi terdengar, tapi justru sebaliknya. Sudah sepatutnya stakeholders berharap banyak, bahwa pada pertemuan FKPPS nasional yang akan dilaksanakan setiap tahun di tingkat propinsi dan wilayah dan 2 (dua) tahun sekali ditingkat nasional. Penyelenggaraan FKPPS nasional akhir tahun ini di Manado Propinsi Sulawesi Utara dijadikan momentum bagi semua pihak untuk segera melakukan langkah-langkah terbaik bagi pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan Indonesia, khususnya dalam penangani konflik antar nelayan****car

Kamis, 21 Agustus 2008

Over Fishing, sebuah catatan

“Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu” kutipan lagu tersebut cukup memberi gambaran kepada kita betapa bangsa ini memiliki kekayaan sumberdaya ikan yang sangat melimpah. Tapi tunggu dulu, lagu tersebut diciptakan ± 30 tahun. ……………

Berdasarkan data yang ada sejak tahun 2001 hingga 2007, laut Jawa dan Selat Malaka sudah divonis sebagai perairan yang telah mengalami overfishing di Indonesia. Sumberdaya ikan yang melimpah di perairan pantai utara Jawa kini tidak lagi dapat dijadkan andalan nelayan untuk menangkap ikan, keadaan ini tentunya membuat nelayan dan pengusaha ikan harus mencari lahan baru untuk menangkap ikan. Karena bila tidak, berapa banyak kerugian yang akan diderita oleh mereka dan berapa banyak tenaga kerja jadi pengangguran. Begitu pula halnya yang telah terjadi di Bagan Siapi-api Selat Malaka, begitu banyak industry perikanan yang mengalami kehancuran, kapal yang rusak karena tidak melaut serta pengangguran yang luas.

Over ekspoitasi dan kesalahan pengelolaan sumberdaya perikanan yang menyebabkan kerugian yang sangat besar baik bagi keberlangsungan usaha perikanan maupun terhadap kelestarian sumberdaya ikan juga terjadi di berbagai belahan dunia, sebut saja collapsnya perikanan cod di Nefounland Canada tahun 1992 yang menyebabkan hilangnya pekerjaan sekitar 40.000 tenaga kerja dibidang industri perikanan. Kejadian yang sama terjadi di laut utara dan laut Baltik, stok ikan cod diwilayah tersebut telah collaps.

Berdasarkan informasi dari kementerian perikanan norwegia (2003), beberapa daerah lain yang juga telah mengalami overfishing adalah perairan kepulauan Falkland di argentina, atlantik peninsula, antartika (dibawah afrika selatan), selat mozambik, laut Arabia, perairan tenggara Australia,

Oleh karenanya, kita perlu mencoba untuk menerapkan kebijakan-kebijakan jangka pendek untuk mencegah hal tersebut terjadi diseluruh perairan Indonesia dengan tidak lagi, misalnya saja dengan tidak menambah lagi effort. Dan dalam jangka panjang, kita mesti mencoba untuk mencari solusi dalam mengatasi masalah tersebut. Upaya pengalihan daerah penangkapan nelayan jawa ke wilayah lainnya seperti laut banda, atau samudera hindia bukanlah jawaban untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pemerintah mesti melakukan mencari alternative kebijakan berdasarkan data dan informasi terbaik yang ada. Penelitian seyogyanya diarahkan lebih banyak pada pencarian pola pengelolaan perikanan yang sesuai dengan kondisi perairan Indonesia, penelitian juga perlu difokuskan pada upaya penanganan overfishing yang telah terjadi, misalnya saja pengembangan program sea ranching.